Anglo-Norway Fisheries Case

picture1

Prinsip hukum internasional yang  terdapat dalam kasus “Anglo-Norway Fisheries Case” ini adalah mengenai penetapan base line zona perikanan Norwegia. Laut teritorial atau laut wilayah, adalah jalur laut yang terletak pada sisi laut dari garis pangkal (base line) dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal di atas. Base line merupakan garis pangkal yang dijadikan sebagai pedoman untuk menarik garis zona perikanan sepanjang 3 mil atau 4 mil dari garis pangkal tersebut.

Sesuai dengan kebiasaan internasional yang dianut kedua negara penetapan garis zona perikanan sejauh 3 mil diadopsi oleh United Kingdom sedangkan jarak 4 mil diadopsi oleh Norwegia. Sehingga dalam sengketa ini perbedaan prinsip antara kedua negara tentang penetapan laut territorial dari garis pangkal merupakan tugas Mahkamah Internasional untuk memutuskannya, manakah kiranya prinsip yang sesuai dengan hukum internasioanal

Inggris menganggap penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional. Dikarenakan Norwegia menetapkan garis pangkalnya dari skjaergaard. Skjaergaard rmerupakan wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau kecil, gugusan fjord, dan karang. Sedangkan menurut Inggris penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional, karena seharusnya garis pangkal ditarik dari daratan yang kering.

Inggris membawa kasus ini ke mahkamah internasional dengan alasan utama bahwa Inggris merasa dirugikan dalam penetapan garis pangkal zona perikanan tersebut. Inggris merasa Norwegia salah dalam menetapkan base-line sehingga dapat mengekploitasi daerah sejauh 4 miles yang memang kaya akan sumber daya perikanan.

Pada proses pengadilan, kedua pihak sama-sama berpegang teguh pada prinsip masing-masing. Namun Kerajaan Norwegia mengungkapkan dalam argumentasi-argumentasi mereka bahwa faktor sejarah dari zona perikanan tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak sejak berabad-abad yang lalu.

Mahkamah internasional akhirnya memutus perkara ini pada 18 desember 1951 setelah dua tahun melewati proses persidangan, dengan menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari penetapan baseline oleh Norwegia berdasarkan dekritnya itu sesuai dengan hukum internasional. Pertimbangan mahkamah internasional adalah pertama, sudah menjadi hukum kebiasaan pada Norwegia sejak abad ke-17 daerah tersebut milik Norwegia. Yang kedua, bahwa skaejgaard yang dimaksud masih memiliki hubungan territorial dengan daratan Noorwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia. Yang ketiga, bahwa wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk local Norwegia, dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan tersebut dijadikan sumber matapencaharian bagi nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad ke 17. Yang keempat adalah melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang memang relief negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantai-pantainya yang berkarang sehingga skaejgaard juga dianggap sebagai daratan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut yang diambil oleh mahkamah internasional untuk memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia. Dari kasus ini general principles yang dapat diambil adalah bahwa penetapan baseline atau garis pangkal laut territorial sebuah Negara pantai dapat pula diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai hubungan territorial dengan daratan. Kasus ini juga dianggap sebagai sebagai salah satu landmark dalam hokum kebiasaan internasional sehingga melahirkan Konvensi Jenewa

Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan (Convention on the Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus ada hak lalu-lintas damai (right of innocent passage). Dalam Konvensi I Jenewa tahun 1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni: (1) di tempat-tempat di mana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh ke dalam dan (2) apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh ketentuan perairan pedalaman (ayat 2). Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar  atau instalasi-instalasi serupa yang setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3). Syarat ketiga adalah penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas ( ayat 5).

Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan ketentuan ayat 1 menegenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal.  Ayat ini menetapkan bahwa dalam penetapan garis pangkal lurus dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan oleh kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.

Ketentuan dalam ayat 1 menunjukkan bahwa sistem garis pangkal lurus  adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan suatu negara. Ketentuan ini berarti bahwa satu Negara dapat menggunakannya disebagian pantainya, yang memenuhi syarat ayat 1. Dengan perkataan lain, suatu Negara dapat menggunakan satu kombinasi pada sistem “normal base-line” dan “straight base-line” .

Tinggalkan komentar